Fajar mulai tampak di ufuk, pertanda subuh akan segera datang untuk mengusir kegelapan malam. Perkemahan hamba-hamba Allah mulai disibukkan oleh datangnya pagi.
Allahu Akbar - Allahu Akbar - Allahu Akbar
Fajar perlahan-lahan menghamparkan dirinya di padang Karbala dan menyajikan warna perak di sungai Furat. Inilah saatnya untuk melaksanakan penghambaan kepada sang Maha Pencipta. Imam Husein AS dan para pengikutnya yang setia berdiri menghadap kiblat menunjukkan kepatuhan kepada Tuhan dengan melaksanakan perintah shalat. Usai shalat, beliau berdiri untuk menyampaikan beberapa patah kata di hadapan para sahabatnya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah, beliau berkata, “Tuhan berkehendak untuk memerintahkan jihad kepada kita. Sudah menjadi ketentuan-Nya bahwa kita semua akan gugur sebagai syahid. Karenanya, bersabarlah menyongsong jihad melawan kekafiran ini.”
Pagi itu, Imam Husein AS mengatur barisan pasukannya yang berjumlah 77 orang. Pasukan sekecil itu diaturnya sedemikian rapi hingga menyerupai sebuah lasykar besar. Zuhair bin Qain mendapatkan tugas di bagian kanan, sedangkan Habib bin Madhahir ditempatkan di kiri. Bendera perang beliau serahkan kepada Abbas, adiknya. Sedangkan Imam Husien sendiri berada di tengah barisan pasukan bersama sanak keluarganya.
Sebagai langkah awal pertahanan, pasukan suci itu membakar kayu-kayu yang ada di balik parit yang memisahkan mereka dengan pasukan musuh. Dengan cara itu mereka membuat sebuah kubu pertahanan yang kuat, sehingga tidak lagi disibukkan untuk menjaga perkemahan.
Tak lama kemudian, pasukan musuh mulai bergerak maju. Umar bin Saad dengan pasukannya yang berjumlah 30 ribu orang menempatkan Umar bin Hajjaj di bagian kanan dan Syimr bin Dzil Jausyan di bagian kiri. Komandan pasukan Ibnu Ziyad itu memerintahkan Azrah bin Qais untuk memimpin pasukan berkuda. Pasukan pejalan kaki dipimpin oleh Syabats bin Rab`i. Sedangkan bendera perang pasukan dipegang oleh Zubaib, budak Umar bin Saad. Serangan ke arah kamp Imam Husein AS dilancarkan. Pasukan Ibnu Ziyad yang berencana menyerang dari belakang terpaksa mengurungkan niat karena berhadapan dengan api yang disulut oleh sahabat-sahabat Imam Husien. Dengan kesal dan kemarahan memuncak, Syimr menyeringai, “Hai Husein, rupanya kau tidak sabar untuk merasakan neraka sehingga buru-buru menyalakannya di dunia.”
“Siapa dia,” tanya Imam. “Aku rasa dia adalah Syimr bin Dzil Jausyan” lanjut beliau. “Ya, dia adalah Syimr,” jawab para sahabat Imam Husien. “Hei Syimr, engkau lebih layak masuk ke neraka dari pada aku.”
Muslim bin Ausajah maju dan meminta izin dari Imam Husein untuk membidikkan anak panahnya ke arah Syimr. Imam melarang dan mengatakan, “Aku tidak ingin menjadi pihak yang memulai.”
Imam Husein memandang ke arah pasukan Bani Umayyah, lalu mengangkat tangannya ke atas dan berdoa, “Ya Allah, Husein-Mu selalu bertawakkal dan menyerahkan diri kepadaMu. Engkaulah harapanku saat menghadapi kesulitan. Aku menyerahkan segalanya kepadaMu. Ya Allah betapa banyak masalah yang Engkau selesaikan setelah aku menyerahkannya kepadaMu. Betapa banyak kesulitan yang meluluhkan orang perkasa sekalipun menjadi mudah bagiku saat aku mengajukannya ke hadiratMu. Ya Allah, sekarang inipun aku menyerahkan diriku dan segala urusanku kepadaMu.
Setelah itu, Imam Husein AS meminta kudanya yang bernama Dzul Janah dan melesat ke arah barisan pasukan Kufah. Persis di hadapan mereka beliau berhenti dan mengatakan: “Wahai kalian semua! Jangan terburu-buru dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pikirkan sejenak dan dengarkanlah kata-kata dan nasehatku. Sebab kalian berhak untuk mendengarnya dariku. Jika kalian mau mendengar dan memikirkannya, jalan kebahagiaan akan terbentang di hadapan kalian. Jika tidak lakukanlah apa yang kalian maukan dan selesaikanlah urusan ini secepatnya. Ketahuilah bahwa Allah adalah Tuanku. Dialah yang menurunkan kitab suci dan melindungi hamba-hambaNya.”
Suara tangis histeris mengiringi kata-kata Imam Husein, sehingga beliau meminta adiknya, Abul Fadhl Abbas untuk mendiamkan mereka dan berkata: “Abbas, suruh mereka berhenti sebab masih banyak musibah yang akan mereka alami dan masih banyak kesempatan untuk menguras air mata.”
Setelah suara tangisan reda, beliau meneruskan: “Maha suci Allah yang telah menjadikan dunia sebagai tempat kefanaan dan menjadikan umat manusia sebagai penonton perubahan yang terjadi di dalamnya. Karenanya, siapa saja yang melihat dunia bagai sesuatu yang agung berarti dia telah menipu dirinya sendiri. Barang siapa yang terjebak di dalam tipudaya dunia, hanya kesengsaraanlah yang dia dapatkan. Karenanya, jangan biarkan dunia menipu kalian! Sebab dunia akan mengandaskan seluruh harapan dan angan-angan pecintanya. Mengapa kalian cenderung mengikuti orang-orang yang hanya akan menjerumuskan kalian ke dalam murka dan amarah Allah? Betapa Allah maha baik dan bijaksana dan betapa buruknya kalian sebagai hamba-Nya. Wahai kalian yang mengakui ketuhanan-Nya dan mengaku beriman kepada Nabi-Nya. Untuk apa kalian mesti memerangi keluarga Rasul? Sungguh syaitan telah merasuki jiwa dan pikiran kalian. Semoga Allah mengandaskan seluruh angan-angan kalian. Wahai warga Kufah, pikirkan benar-benar siapakah diriku? Bukankah aku anak putri Nabi? Bukankah aku putra washi Rasul? Bukankah aku putra orang yang pertama memeluk agama Islam? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah paman ayahku? Bukankah Ja’far Thayyar, pamanku? Lupakah kalian akan sabda Nabi tentang diriku dan saudaraku? Lupakah kalian akan sabda Nabi bahwa Hasan dan Husein adalah penghulu pemuda surga? Apakah kalian mengira aku berdusta? Aku bersumpah bahwa aku tidak pernah mengotori lidah ini dengan kata-kata dusta. Jika kalian tidak percaya tanyakan kepada Jabir bin Abdillah Al-Anshari, Abu Said Al-Khudri, Sahl bin Sa’d As-Saidi, Zaid bin Arqam atau Anas bin Malik. Mereka akan memberitahu kalian akan kebenaran kata-kataku. Semoga sabda Nabi mengenai kami bisa mencegah kalian dari niat menzalimi kami.”
Tiba-tiba Syimr bin Dzil Jausyan memotong kata-kata beliau dengan berseru: “Hei Husein! Aku pasti akan ragu menyembah Tuhan jika aku tahu kebenaran kata-katamu”
Celoteh Syimr dijawab oleh Habib bin Madhahir: “Hei Syimr! Demi Allah, selama ini engkau beribadah dengan keraguan yang menguasai jiwa dan pikiranmu. Aku tahu benar bahwa engkau tidak akan memahami apa yang dikatakan oleh tuanku, Husein. Sebab Allah telah membuat hatimu sekeras batu.”
Imam melanjutkan: “Jika kalian masih ragu, apakah kalian meragukan bahwa aku adalah anak dari putri Nabi kalian? Demi Allah kalian tidak akan menemukan cucu Nabi di dunia ini selain diriku. Celaka kalian! Apakah aku telah membunuh salah seorang dari kalian, sehingga kalian datang untuk menuntut balas dariku? Apakah aku telah merampas harta kalian sehingga kalian menghunus pedang terhadapku?”
Semua diam membisu, tak terkecuali Syimr.
Imam Husein AS lantas memanggil beberapa orang dari barisan musuh: “Wahai Syabats bin Rab`i, Hajjar bin Abjad, Qais bin Asy’ats, Zaid bin Haritsah! Bukankah kalian yang menulis surat kepadaku untuk datang dengan mengatakan bahwa buah-buah telah masak dan siap dipetik, dan seluruh warga Kufah akan menjadi bala tentaraku? Apakah kalian sudah lupa kepada janji dan sumpah setia kalian?”
Semuanya membantah pernah menulis surat itu kepada Al-Husein. Beliau menjawab: “Demi Allah kalian telah menulis surat itu.”
Qais bin Asy’ats menyergah: “Kami tidak tahu apa yang kau maksudkan. Jalan terbaik bagimu adalah menyerah dan menerima kekuasaan Bani Umayyah. Mereka pasti akan memberimu hadiah sebanyak yang kau inginkan. Mereka tidak akan mencelakakanmu.”
(Al-Husein): “Hei Qais! Apakah engkau mengira bahwa Bani Hasyim akan menuntut darah orang selain Muslim bin Aqil darimu? Demi Allah aku tidak akan mengulurkan tangan kepada para tuanmu. Aku juga tidak akan pernah takut menghadapi peperangan. Karena aku hanya berlindung kepada Allah, Tuhanku.”
Imam Husein AS turun dari punggung kuda dan memberikan tali kekangnya kepada Uqbah bin Salman. Kata-kata dan nasehat Imam dibalas dengan lemparan tombak oleh pasukan Kufah.
Tak lama kemudian, seorang bernama Abdullah bin Hauzah At-Tamimi dengan suara lantang berseru: “Hei kelompok Khawarij, adakah Husein di antara kalian?”
Para sahabat Imam menjawab: “Ya, Husein di sini. Apa maumu?”
Ibn Hauzah kembali berseru: “Hai Husein! berbahagailah karena sebentar lagi engkau akan masuk neraka.”
Imam menjawab: “Aku akan segera bertemu dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Siapakah engkau?”
Abdullah menjawab: “Aku adalah anak Hauzah At-Tamimi.”
Imam Husein lantas mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah kirimlah ia ke neraka.”
Mendengar doa Imam Husein, Abdullah marah dan serta merta menghentakkan kudanya menuju beliau. Mendadak kuda yang dinaikinya terbentur batu dan jatuh sehingga membuat penunggangnya terpental ke tanah dengan kaki yang masih terikat di tubuh kuda. Kuda itu bangkit dan berlari kesana-kemari menyeret penunggangnya. Tak ayal, tubuh dan kepala Abdullah At-Tamimi berkali-kali membentur bebatuan sahara Karbala. Abdullah tewas secara mengenaskan dan Allah telah mengirimnya ke neraka. Mas’ud bin Wail Al-Hadhrami yang berada di barisan depan pasukan berkuda pimpinan Umar bin Sa’ad menyaksikan kejadian itu dari dekat. Tanpa banyak berpikir, dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan pasukan Kufah. Dalam hati dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan pernah memerangi keluarga Nabi. Sebab mereka memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah.”
Zuhair bin Al-Qain mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk berbicara dengan pasukan Kufah. Imam mengizinkan. Sahabat setia Imam Husein itu segera bangkit dan berdiri menghadap pasukan musuh. Dengan suara lantang, Zuhair berseru: “Wahai warga Kufah! Takutlah kalian akan azab Allah. Aku berdiri di sini untuk menyampaikan nasehat kepada kalian, sebab kalian memiliki hak untuk mendengarkannya dariku. Sampai saat ini, kita masih terikat dalam persaudaraan seagama. Tali ikatan ini tetap ada selama pedang belum memisahkannya. Tetapi ketika pedang sudah berbicara, kita akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda. Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan keluarga Rasul-Nya sebagai ujian bagi kalian, bagaimana kalian memperlakukan mereka. Allah telah melarang kalian untuk tunduk dan patuh kepada kaum durjana seperti Yazid dan Ubadillah bin Ziyad. Dia pulalah yang memerintahkan kalian untuk membela anak cucu Rasulullah. Jika tidak, tak lama lagi kaum durjana itu akan mencungkil mata kalian, memotong kaki dan tangan kalian serta menggantung tubuh kalian di batang korma.”
Nasehat Zuhair dibalas dengan makian. Pasukan Kufah tetap bersikeras untuk tidak meninggalkan medan perang sebelum berhasil membantai Imam Husein dan para sahabatnya atau membawa mereka dengan tangan terbelenggu kepada Ibnu Ziyad.
Zuhair kembali angkat suara: “Demi Allah, anak-anak Fathimah lebih baik untuk dicintai dan dibela daripada anak Sumaiyyah. Jika enggan membela Husein, sebaiknya kalian tinggalkan medan ini.”
Tiba-tiba sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Syimr bin Dzil Jausyan melesat ke arah Zuhair. “Diam kau,” hardik Syimr. “Kata-katamu membuat kami lelah.”
Kepada Syimr, Zuhair bin Al-Qain berkata: “Hei Syimr! aku tidak berbicara denganmu. Sebab kau tak lebih dari seekor binatang. Demi Allah, aku menduga bahwa engkau tidak memahami satu ayatpun dari Al-Qur’an. Tunggulah kehinaanmu di hari kiamat kelak.”
Lagi-lagi Syimr berujar: “Sebentar lagi Tuhan akan membunuhmu bersama tuanmu itu.”
Zuhair menjawab: “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Demi Allah kematian bersama Husein lebih menyenangkan dari hidup bersama kalian.” Zuhair kembali mengarahkan pembicaraannya kepada pasukan Kufah: “Wahai hamba-hamba Allah, sadarlah, jangan sampai orang ini menjauhkan kalian dari agama Allah! Demi Tuhan, syafaat keluarga Muhammad tidak akan didapatkan oleh mereka yang membunuh anak cucu Rasul dan membantai para pembela mereka.”
Salah seorang sahabat Imam Husein berkata kepada Zuhair: “Wahai Zuhair, sungguh engkau bagaikan seorang Mu’min berada di keluarga Fir’aun dengan memberikan nasehatmu kepada mereka. Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang baik.”
Burair bin Khudhair adalah seorang berusai lanjut yang dikenal zuhud, ahli ibadah, qari’ terkenal di kota Kufah dan sangat dihormati oleh kabilah Bani Hamdan. Burair meminta izin Imam Husein untuk berbicara dengan pasukan Kufah yang sudah gelap mata. Setelah mendapat restu dari cucu Nabi itu, Burair mengatakan: “Wahai penduduk Kufah, Allah telah mengutus Muhammad untuk menunjukkan agama yang lurus. Beliau telah memberikan petunjuk dan mengajak umat kepada jalan Allah. Risalahnya bagaikan pelita yang menerangi kegelapan. Ketahuilah bahwa mereka yang kini berada di hadapan kalian adalah anak cucu sang Nabi. Karenanya, dengan alasan apakah kalian menghalang mereka mengambil air sungai Furat?”
Pasukan Kufah menjawab: “Hei Burair! singkat saja, kami bersumpah untuk membuat Husein kehausan dan merasakan dahaga yang tidak akan pernah dialami oleh orang selain dia.”
Burair kembali mengingatkan mereka: “Risalah dan pesan kenabian ada di tengah-tengah kalian yaitu keluarganya. Karena itu, pikirkan bagaimana kalian mesti bersikap terhadap mereka.”
Pasukan Ibnu Ziyad menjawab: “Yang kami inginkan adalah Husein mau tunduk kepada perintah gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad.”
“Celaka kalian,” sergah Burair. “Lupakah kalian bahwa kalian telah menulis surat kepada junjunganku Husein dan menyatakan sumpah setia untuk berkorban demi beliau? Saat ini setelah Husein bersedia menjawab panggilan itu dan datang bersama sahabat-sahabatnya untuk memenuhi ajakan kalian, kalian malah menjual mereka kepada Ibnu Ziyad! Alangkah buruknya perlakuan kalian terhadap anak cucu Rasulullah. Semoga Allah membuat kalian kehausan di hari pembalasan nanti.”
Terdengar celoteh dari barisan musuh: “Hei Burair, kami tidak mengerti apa yang kau katakan.” Burair menjawab: “Puji syukur kepada Tuhan yang telah menunjukkan kepadaku siapakah kalian sebenarnya. Ya Allah, aku berlepas tangan dari perbuatan mereka. Tuhanku, balaslah kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ini dengan kehinaan saat mereka menghadap-Mu dan jatuhkanlah laknat dan kemurkaan-Mu atas mereka.”
Setelah Burair berhenti berbicara puluhan anak panah menerjah ke arahnya. Burair kembali ke posisinya semula di barisan Imam Husein AS.
Imam Husein meminta kudanya. Setelah duduk di atas punggung kuda, beliau kembali menghadap pasukan Kufah. Sambil meletakkan sebuah naskah Al-Qur’an di atas kepalanya Imam Husein berkata: “Wahai penduduk Kufah, antara kita ada kitab suci Tuhan dan sunnah kakekku Rasulullah. Tahukah kalian bahwa pakaian yang melekat di tubuhku ini adalah pakaian Nabi? Tahukah kalian bahwa pedang dan perisai yang aku bawa adalah milik kakekku, Rasululah?”
Pasukan musuh membenarkan kata-kata Imam Husein. Menyaksikan itu beliau bertanya: “Kalau begitu, apa alasan kalian memerangiku?”
“Ketaatan kepada gubernur Ubaidillah bin Ziyad,” jawab mereka.
Mendengar jawaban itu, Imam berkata, “Celaka kalian yang telah berbaiat kepada orang seperti dia dan mengacungkan pedang ke arah kami. Celaka kalian yang memilih untuk menjadi pembela musuh-musuh Allah yang tidak akan berlaku adil terhadap kalian. Mengapa kalian justeru memerangi keluarga Rasul di saat pedang kaum durjana menguasai kalian dan untuk selanjutnya orang-orang zalim itu akan mengotori dunia dengan kezaliman mereka. Celakalah kalian yang telah mencampakkan kitabullah dan mengubah-ubah kandungannya. Mengapa kalian patuh kepada para pengikut syaitan, pendosa, durjana dan pelanggar ajaran Rasul? Mengapa kalian justeru mengikuti mereka serta meninggalkan dan tidak membela kami, keluarga Rasul? Demi Allah, bukan kali ini saja kalian melanggar sumpah setia. Kehidupan kalian sarat dengan pengkhianatan yang telah menyatu dengan kepribadian kalian. Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan. Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu. Kini aku bersama sanak keluarga dan sahabat-sahabatku yang berjumlah kecil ini bangkit untuk berjuang di jalan Allah dan siap untuk meneguk cawan syahadah. Wahai penduduk Kufah, ketahuilah bahwa setelah ini kalian tidak akan hidup lama. Inilah yang diberitahukan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah. Wahai warga Kufah! pikirkanlah untuk selanjutnya selesaikan segera urusan ini. Ketahuilah bahwa Husein hanya berharap kepada Allah yang Maha Besar, sebab tak ada satupun makhluk yang hidup, kecuali seluruh urusan dan kehidupannya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
Kemudian Imam Husein membawakan bait-bait syair Farwat bin Masik Al-Muradi, salah seorang sahabat Nabi:
“Wahai kalian semua, jika kami menang itu sudah tradisi. Namun jika kami hancur ketahuilah bahwa kami tidak akan kalah. Jika kami berhasil membunuh, kemenangan ada pada kami, dan jika kami terbunuh kami tetap menang. Kami bukanlah pengecut dan berhati lemah. Kami adalah jawara dan pemberani. Jika kami terbunuh berarti itulah saat kesyahidan dan pengorbanan kami. Ketika kematian tidak menjemput suatu kaum, berarti ketika itu ia sedang merenggut kaum yang lain.”
“Inilah hari yang ditentukan bagi kami dan para pembela kami. Jika para tokoh dunia kekal kamipun pasti akan kekal, sebab kami adalah pemuka umat manusia. Jika para pemimpin meninggalkan dunia ini menuju ke alam keabadian, kamipun juga akan berjalan menuju ke sana.”
Imam Husein mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, jangan kau siramkan hujan rahmat-Mu kepada kaum ini. Buatlah mereka hidup di bawah kekuasaan para durjana. Dudukkanlah budak dari Bani Tsaqif itu untuk menguasai mereka dan memberi mereka rasa kehinaan. Engkau tahu bahwa Husein selalu berserah diri dan bertawakkal kepadaMu. Engkaulah tempat kami semua kembali.”
Imam mengarahkan pembicaraannya kepada komandan pasukan musuh, Umar bin Saad: “Hei Umar! Apa engkau mengira dengan membunuhku engkau akan diangkat menjadi gubernur Rey dan Gurgan? Demi Allah engkau tidak akan mendapatkan impian itu. Kini lakukan apa maumu. Tapi ingat, bahwa setelah kematianku, engkau tidak akan mengalami saat bahagia sama sekali. Aku menyaksikan anak-anak kecil di Kufah yang bermain-main dan melempari kepalamu.”
Umar bin Saad naik pitam.
Hurr bin Yazid Ar-Riyahi berdiri di sisi Umar bin Sa’ad dan mendengarkan kata-kata Imam Husein dengan seksama. Dia melirik ke arah Ibnu Saad dan berkata: “Hei Ibnu Saad! Apakah engkau memang berniat membantai Husein?”
“Ya,” jawab Umar. “Demi Allah aku akan menggempur kelompok itu, setidaknya aku bisa memenggal kepala dan memotong tangan Husein.”
Hurr bertanya lagi: “Apakah engkau sudah memikirkan apa yang dikatakan Husein tadi?”
Ibnu saad menjawab: “Ya. Jika aku bisa, tentu aku akan menerima kata-katanya. Tapi Ubaidullah bin Ziyad menekankan untuk menghabisinya. Aku tidak punya pilihan lain.”
Hurr memalingkan pandangan ke arah orang-orang di sekitarnya. Pandangannya tertumpu kepada Qurrah bin Qais yang berada di sampingnya. Kepadanya Hurr berkata, “Hei Qurrah, sudahkah engkau memberi minum kudamu?” “Belum,” jawabnya.
Hurr berkata lagi, “Apakah engkau tidak mau memberinya minum?”
Kata-kata Hurr dicermati oleh Qurrah. Ia bisa menangkap maksud Hurr. Qurrah menduga bahwa Hurr berniat memisahkan diri dari barisan pimpinan Umar bin Saad tanpa harus diketahui orang lain.
Secepat kilat Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan ia dihadang oleh Muhajir bin Aus. Muhajir berseru memanggil Hurr, “Hei Hurr, apakah engkau berniat menyerang Husein sekarang?”
Muhajir yang menyaksikan tubuh Hurr yang menggigil dan wajahnya yang pucat pasi bertanya, “Hurr, Ada apa denganmu? Mengapa badanmu gemeter seperti ini. Padahal jika ada yang bertanya kepadaku siapakah jawara Kufah aku pasti akan menyebutkan namamu?”
Hurr menjawab: “Muhajir, aku berada di persimpangan jalan, jalan ke surga dan jalan ke neraka, dan aku harus memilih salah satunya. Demi Allah aku hanya menginginkan surga meski harus dibakar hidup-hidup.” Selepas mengucapkan kata-kata itu, Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husien AS dengan kepala tertunduk malu.
Dengan airmata yang membasahi pipinya, Hurr berseru, “Ya Allah, aku datang untuk menebus semua kesalahanku dan bertaubat kepada-Mu. Terimalah taubatku ini. Akulah yang telah melukai hati sanak kelurga Rasul.” Kepada Imam Husein AS, Hurr mengatakan, “Aku menyesali semua kesalahanku. Apakah taubatku bisa diterima? Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu.”
Imam menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu.” Hurr berkata lagi, “Saat meninggalkan Kufah, aku mendengar suara yang memberiku kabar gembira akan surga. Dan kini aku berkata sendiri dalam hati, celaka aku yang telah diberi kabar gembira tentang surga tapi berniat memerangi cucu Rasulullah.”
Imam kembali berkata, “Engkau beruntung. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” Hurr meminta izin untuk pergi ke medan dan berbicara dengan pasukan Kufah. Imam Husein mengizinkan. Hurr maju ke arah pasukan Ibnu Saad dan dengan suara lantang mengatakan, “Celaka kalian wahai penduduk Kufah! Kalianlah yang telah memanggil cucu Rasul untuk datang kepada kalian. Kalian mengaku bersedia mengorbankan jiwa untuknya. Tapi kini di saat beliau datang memenuhi panggilan kalian, kalian malah menyambutnya dengan pedang terhunus. Kalian memperlakukannya bagai tawanan perang dan menutup air untuk beliau dan keluarganya. Betapa buruknya kalian yang memperlakukan cucu Nabi sedemikian keji. Semoga Tuhan tidak menghilangkan dahaga kalian.”
Tiba-tiba sekelompok penunggang kuda keluar dari barisan pasukan Kufah dan menyerang Hurr. Hurr mundur dan menggabungkan diri dengan barisan Imam Husein AS, sebab beliau melarang sahabat-sahabatnya untuk memulai pertempuran.
Syimr maju ke arah barisan Imam Husein dan berseru, “Di mana anak-anak saudariku? Di mana Abbas dan adik-adiknya?” Mereka menolak untuk memenuhi panggilan Syimr. Kepada mereka Imam Husein berkata, “Penuhi panggilannya, meski dia seorang fasik.” “Hei Syimr, apa maumu?”
“Kalian adalah anak-anak saudara perempuanku. Aku akan memberi kalian keselamatan. Jangan binasakan diri sendiri. Tunduklah kepada Yazid.”
Abbas yang dikenal dengan Abul Fadhl dan saudara seayah Imam Husein menjawab, “Semoga Allah melaknatmu dan melaknat keselamatan yang kau janjikan itu. Semudah itukah engkau memberi kami keselamatan sedangkan jiwa Husein, putra Rasulullah tidak selamat? Kau menginginkan kami meninggalkannya dan tunduk kepada orang-orang terkutuk itu? Betapa kotornya pikiranmu!”
Drama padang Karbala memasuki babak baru. Umar bin Sa’ad maju mendekat ke arah perkemahan Imam Husein AS. Perlahan-lahan, dia meletakkan anak panah di busurnya dan membidikkannya ke arah pasukan suci itu. Anak panah melesat ke sasaran. Umar bin Saad berseru, “Wahai penduduk Kufah, saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah ke pasukan Husein. Sampaikan hal ini kepada gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad!”
Menyusul aksi Ibnu Sa’ad, pasukan Kufah menghujani kamp Imam Husein dengan anak panah. Tak ada sahabat Imam Husein yang selamat dari serangan itu. Imam dengan mantap menyuruh mereka untuk bergegas menyambut kesyahidan dan berkata, “Bangkitlah wahai para pembela agama Allah. Songsonglah syahadah yang telah menjadi bagian kita. Anak-anak panah ini adalah pesan yang mereka kirim.”
Para sahabat Imam Husein segera bangkit menyerang pasukan musuh. Pertempuran tak dapat dielakkan lagi. Ratusan pedang dan tombak menari-nari di medan medan laga. Beberapa saat kemudian bentrokan berhenti. Debu-debu yang bertaburan mulai kembali ke posisi semula. Tampak lima puluh orang sahabat Imam Husein jatuh bergelimang darah.
Yasar budak Ziyad dan Salim budak Ubaidillah bin Yazid datang ke medan laga dan menantang Habib bin Madhahir dan Burair bin Hudhair untuk duel. Imam tidak mengizinkan kedua sahabatnya itu untuk maju memenuhi tantangan tersebut. Dari dalam barisan pasukan Imam, Abdullah bin Umair Al-Kalbi yang dikenal pemberani, dan jawara di medan laga serta memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk berduel. Imam mengizinkan dan berkata, “Dia adalah prajurit yang mahir di medan laga.”
Melihat sahabat Imam itu, Yasar dan Salim bertanya, “Siapa kau?” Dengan melantunkan beberapa bait syair, Abdullah mengenalkan dirinya. Yasar dan Salim menyahut, “Kami tidak mengenalmu. Biarkan Zuhair, Habib atau Burair yang datang untuk berduel dengan kami.”
“Apakah kalian takut berhadapan denganku?” Kata-kata Abdullah membakar emosi mereka berdua. Salim menyerang. Duel antara Abdullah dan Salim berlangsung seru. Yasar secara diam-diam menyerang Abdullah dari belakang. Para sahabat Imam Husein berseru, “Hati-hati, Abdullah!” Salim memutar pedangnya dan mengayunkannya ke arah sahabat Imam itu. Abdullah menangkisnya dengan tangan kiri. Tak ayal pedang Salim memisahkan jar-jari tangan Abdullah dari badannya. Pukulan Salim dibalas dengan pukulan pedang. Salim terjerembab bermandikan darah. Abdullah kembali ke kemah Imam Husein. Kedatangan Abdullah disambut oleh istrinya yang lantas mendorongnya untuk kembali ke medan laga. “Abdullah, kembalilah ke medan dan korbankanlah dirimu untuk manusia suci dan anak Rasul ini. Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu menyongsong syahadah,” ujar sang istri. “Bukankah beberapa saat lalu, engkau mencegahku untuk berkorban demi Husein? Mengapa kini engkau juga ingin terjun ke medan tempur?” tanya Abdullah. Sang istri menjawab, “Jangan kau salahkan diriku. Baru saja aku mendengar Imam Husein mengatakan sesuatu?” “Apa yang beliau katakan?” tanya Abdullah. “Beberapa saat tadi aku mendengar Husein berkata, “Ah, betapa sedikitnya orang yang mau membelaku.”
Kepada Imam Husein, Abdullah berkata, “Ya Abu Abdillah, perintahkanlah istriku supaya kembali ke kemah.” Imam memerintahkan istri Abdullah untuk kembali dan mengatakan, “Allah membalas jasa baik kalian yang telah membela keluarga Nabi-Nya. Ummu Wahb, kembalilah ke kemah, sebab Allah tidak memerintahkan wanita untuk berperang.”
Sekonyong-konyong, Umar bin Khalid As-Saidawi bersama budaknya yang bernama Sa’ad, Jabir bin Haris dan Majma’ bin Abdillah Al-Haizi secara serentak maju menyerang pasukan Kufah dan mengobrak-abrik barisan mereka. Tebasan pedang mereka menjungkalkan banyak prajurit musuh. Akhirnya pasukan Ibnu Saad mengepung mereka sehingga praktis sahabat-sahabat Imam Husein itu terpisah dari pasukan induk. Menyaksikan itu, Imam memerintahkan saudaranya yang bernama Abbas untuk pergi membantu dan menyelematkan mereka dari kepungan pasukan Kufah. Bagai singa kelaparan, Abbas menyerang dan mengobrak-abrik pasukan musuh untuk menyelamatkan keempat sahabat Imam Husein. Para jawara yang terluka itu kembali menyerang. Puluhan orang menggelepar-gelepar di tanah terkena tebasan pedang mereka. Akhirnya, keempat sahabat Imam Husein itu meneguk cawan syahadah, Inna lillah wa inna ilahi rajiun.
Imam Husein memegang janggutnya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan tunduk kepada kemauan kaum durjana ini, sampai aku menemui Tuhanku dengan tubuh berlumur darah.”
Kemudian dengan suara lantang Imam Husein berseru: “Tidak adakah orang yang sudi membela keluarga Rasul?” Kata-kata imam itu disusul oleh ledakan tangis histeris para wanita dari dalam kemah.
Dari dalam pasukan musuh, Sa’ad bin Harits dan saudaranya Abul Hatuf sadar setelah mendengar seruan Imam Husein itu. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua berbalik menyerang pasukan Umar bin Sa’ad. Sebelum gugur syahid, mereka berhasil membunuh beberapa orang prajurit Kufah.
Jumlah pasukan Imam Husein semakin berkurang dengan gugurnya beberapa orang dari kelurga Nabi. Akhirnya pertempuran berganti menjadi duel satu lawan satu. Banyak prajurit Kufah yang terbunuh. Umar bin Hajjaj berseru, “Wahai penduduk Kufah, tahukah kalian dengan siapa kalian berduel? Mereka adalah para jawara yang tak mungkin dikalahkan. Hujani mereka dengan batu, karena cara itulah yang paling tepat untuk menghabisi mereka.” Tak lama setelah itu, Umar bin Hajaj bersama pasukannya menyerang barisan Imam Husein. Meski berjumlah sedikit, pasukan Imam Husein tegar bertahan menghadapi mereka. Banyak pasukan musuh yang tewas di tangan jawara-jawara pembela keluarga Nabi. Pasukan Kufah mundur. Sahabat-sahabat Imam menghujani mereka dengan anak panah. Tak berapa lama, Umar bin Hajjaj bersama Abdullah Bajali kembali menyerang. Bentrokan kembali meletus. Setelah pasukan musuh kembali menarik diri, tampak Muslim bin Ausajah, salah seorang sahabat setia Imam Husein, terkapar di tanah dengan tubuh berlumur darah. Muslim bin Ausajah adalah seorang yang dikenal pemberani di kota Kufah. Dialah yang menjadi wakil Muslim bin Aqil di Kufah untuk mengumpulkan dana, membeli persenjataan, dan mengambil baiat untuk Imam Husein. Dialah yang di malam Asyura ketika Imam Husein menyuruh para sahabat untuk pergi meninggalkannya, dengan mantap bangkit dan berkata, “Wahai putra Rasulullah, untuk apa kami harus pergi meninggalkanmu? Jika itu kami lakukan apa jawaban kami di hadapan Allah nanti? Demi Allah, aku akan tancapkan tombakku di dada musuh-musuhmu. Selagi pedang ada di tanganku, aku akan memukulkannya di tubuh pasukan musuh. Jika aku tidak memiliki senjata aku akan berperang dengan batu. Demi Allah kami tidak akan meninggalkanmu. Biarkan Tuhan menyaksikan pengorbanan dan pembelaan kami kepada kehormatan Nabi. Demi Allah untuk membelamu, aku siap dibunuh lalu dihidupkan kembali. Setelah itu di bunuh dan dibakar dan abu pembakaran tubuhku ditaburkan. kemudian aku dihidupkan. Begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sampai nyawaku terlepas dari badan ini. Bukankah aku cuma akan mati sekali untuk kemudian pergi ke alam keabadian?
Muslim kini kini tergeletak di tanah. Imam Husein bersama Habib bin Madhahir mendatanginya.Imam mendoakannya. Habib bin Madhahir yang juga sahabat karib Muslim berkata kepadanya, “Sulit bagiku menyaksikan keadaanmu seperti ini. Bergembiralah, karena sebentar lagi engkau akan pergi ke surga.” Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, Muslim berkata, “Allah juga telah menyediakan surga untukmu.”
“Muslim,” kata Habib. “Jika aku masih bisa hidup lama setelahmu, aku siap menerima wasiatmu. Tapi aku tahu bahwa tak lama lagi akupun akan menyusulmu.” Muslim menunjuk kepada Imam Husein dan mengatakan, “Habib sahabatku, wasiatku satu-satunya adalah jangan sampai engkau meninggalkan Husein.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, muslim menutup mata untuk selamanya, inna lillahi wa inna ilahi rajiun. Saat itulah Imam Husien AS membacakan ayat Al-Qur’an
فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَي نَحْبَهُ فَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَلُوْا تَبْدِيْلاً
Pasukan Kufah bersorak gembira karena berhasil membunuh Muslim bin Ausajah. Syabats bin Rab`i dengan suara lantang berseru, “Hei kalian semua, apakah dengan membunuh Muslim kalian sedemikian bersuka cita? Celaka kalian! Tahukah kalian bahwa Muslim sangat dihormati oleh kaum muslimin? Demi Allah! pasukan kafir gentar menghadapi pedangnya. Dialah jawara yang membuat pasukan musuh ketakutan.”
Syimr dan beberapa orang prajurit Kufah menyerang perkemahan Imam Husein. Abdullah bin Umair Al-Kalbi datang menghadang laju mereka. Dengan semangat tinggi dan jiwa kepahlawanan, sahabat Imam Husein itu menari-narikan pedangnya. Beberapa orang roboh terkena sabetan pedang Abdullah yang menyambar-nyambar bagai petir. Namun tak lama kemudian, pedang Hani Shabiy Al-Hadhrami berhasil memisahkan tangan kanan Abdullah dari badannya. Ketangkasan Ibnu Umair mengendur. Mendadak sebuah sabetan pedang merobohkan sahabat Imam Husein itu. Abdullah gugur sebagai syahid.
Dengan tergopoh-gopoh, istri Abdullah datang dan memangku tubuh tak bernyawa itu sambil membersihkan darah yang membasahi wajahnya. Kepada suaminya sang istri berkata, "Berbahagialah, karena engkau kini telah terbang ke surga sana. Aku berharap Tuhan juga memberiku tempat di surga bersamamu." Adegan itu disaksikan oleh Syimr. Dia segera memanggil budaknya dan memerintahkannya untuk menghabisi Ummu Wahb, istri Abdullah. Sang budak yang berhati batu itu melaksanakan perintah tuannya. Tanah Karbala kembali dibasahi oleh darah manusia suci, pembela keluarga Nabi. Pembantaian itu sekaligus menobatkan Ummu Wahb sebagai wanita pertama yang syahid dalam tragedi Karbala.
Pasukan Kufah yang kesetanan dengan keji memanggal kepala Abdullah bin Umair dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husien AS. Kepala itu disambut oleh ibu Abdullah yang lantas menciuminya. Tanpa diduga, wanita tua itu bangkit dan mengambil sepotong kayu lalu menyerang ke arah pasukan musuh. Imam Husein datang mencegah dan mengatakan, "Kembalilah ke kemah. Semoga Allah mengampunimu. Tuhan tidak mewajibkan jihad atas wanita."
Syimr dan pasukannya kembali menyerang. Kali ini Zuhair bin Al-Qain bersama sepuluh orang sahabatnya menyambut kedatangan mereka. Bentrokan tak dapat dihindari. Meski berjumlah sedikit mereka berhasil memporak-porandakan barisan pasukan Kufah. Keperkasaan sahabat-sahabat Imam Husein di medan laga dan kepiawaian mereka menarikan pedang menciutkan nyali pasukan Kufah. Qais, komandan pasukan berkuda Kufah, yang menyaksikan kekalahan orang-orangnya meminta bantuan pasukan yang lebih banyak. Umar bin Sa'ad segera mengirimkan pasukan pimpinan Hushain bin Umair.
Bentrokan masih terus berkecamuk. Pasukan Imam Husein AS bagai singa kelaparan mencabik-cabik pasukan musuh tanpa mempedulikan besarnya jumlah mereka. Beberapa orang Kufah jatuh tersungkur bersimbah darah. Pasukan Imam Husien hanya berpikir untuk mempersembahkan yang terbaik kepada keluarga Rasulullah. Zuhair dan sahabat-sahabatnya, bagai benteng kuat yang menghalangi pasukan musuh untuk sampai ke perkemahan Imam Husein AS. Meski berulang kali berusaha melumpuhkan mereka, namun Umar bin Sa'ad dan pasukannya tetap gagal menembus pertahanan itu.
Akhirnya, Ibnu Sa'ad memerintahkan orang-orangnya untuk membakar kemah Imam Husein. Tak ayal lagi, wanita dan anak-anak yang sejak tadi berada di dalam kemah berhamburan keluar. Saat itulah, Abu Sya'sa Al-Kindi maju melindungi Imam Husein dari gempuran musuh sambil membidikkan anak panahnya ke arah mereka. Beberapa orang menggelepar-gelepar di tanah terkena panahnya. Imam Husein yang menyaksikan adegan itu berdoa, "Ya Allah, kuatkanlah tangannya, tepatkanlah bidikannya dan berikanlah surga kepadanya sebagai pahala kebaikannya." Namun tak lama kemudian, Abu Sya'sa pun pergi menemui Tuhannya setelah mempersembahkan jiwa dan raganya kepada Islam. Inna lillah, wa inna ilahi rajiun.
Terik mentari semakin membakar, pertanda waktu dhuhur akan segera tiba. Di kamp Imam Husein, Abu Sumamah As-Saaibi (Saa-ibi) menatap mentari lalu menghadap Imam sambil mengatakan, "Wahai Abu Abdillah, jiwaku aku korbankan untukmu. Lihatlah musuh semakin dekat. Demi Allah, tak akan kubiarkan Anda gugur sebelum aku mempersembahkan jiwa ini untukmu dengan bersimbah darah. Namun sebelum pedang mencabik-cabik tubuhku, aku ingin shalat dhuhur di belakangmu untuk terakhir kalinya."
"Engkau masih ingat akan kewajiban shalat. Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan para penegak shalat dan yang selalu mengingat-Nya. Benar, sudah saatnya untuk melaksanakan shalat Dhuhur." Imam melanjutkan, "Minta mereka agar menghentikan peperangan sejenak untuk melaksanakan shalat."
Permintaan Imam Husein itu dijawab oleh Hushain bin Umair, "Hei, Tuhan tidak akan menerima shalat kalian."
Habib bin Madhahir bangkit menjawab kelancangan itu dan berkata, "Hei Hushain, kau kira shalat cucu Nabi tidak diterima Allah, sedang shalatmu diterima?" Hushain bin Umair naik pitam. Dia menghentakkan kudanya untuk menyerang Habib. Habib memukul kepala kuda Hushain. Ibnu Umair terjengkal. Kematian sudah tampak di hadapannya. Namun ia lolos dari maut setelah pasukan Kufah datang menyelamatkannya. Habib bin Madhahir maju dan menyerang pasukan musuh. Enam puluh dua orang terjerembab di atas pasir Karbala bermandikan darah terkena sabetan pedang sahabat Imam Husein itu. Sekonyong-konyong seseorang dari Bani Tamim memukulkan pedang ke tubuh Habib dan berhasil melukainya. Habib terhuyung dan jatuh ke tanah. Sebelum sempat bangkit untuk kembali melakukan perlawanan, Hushain menyerbu ke arahnya dan dengan sekali tebas, kepala Habib bin Madhahir terpisah dari badannya yang suci. Kematian Habib bin Madhahir bagai tombak yang menikam hati Imam Husein. Beliau berkata, "Darah Habib bin Madhahir akan aku tuntut kelak di hadapan Allah."
Hurr bin Yazid Al-Riyahi dan Zuhair bin Al-Qain maju ke arah pasukan Umar bin Saad. Kedua jawara itu saling membantu di medan laga. Sambil menari-narikan pedangnya, Hurr bersenandung:
Akulah Hurr yang akan menebas kalian dengan pedang. Akulah pembela manusia paling mulia. Akan kubantai kalian tanpa ragu dan bimbang.
Setelah bertarung cukup lama, Hurr terguling di tanah bersimbah darah. Para sahabat Imam Husein yang masih tersisa datang dan membawa tubuh suci itu ke perkemahan. Hurr masih bernafas. Imam Husein dengan penuh kelembutan meletakkan kepalanya di pangkuan beliau. Sambil membersihkan darah dari wajah Hurr, beliau berkata, "Engkau benar-benar bebas seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Sungguh engkau bebas, di dunia dan akhirat."
Ali putra Imam Husein datang dan mengatakan, "Hurr, engkaulah jawara sejati yang berkorban demi Husein."
Imam Husein AS dan para sahabatnya berdiri untuk melaksanakan shalat Dhuhur berjamaah. Zuhair bin Al-Qain dan Said bin Abdullah Al-Hanafi berdiri di depan mereka dan menjadi tameng hidup. Setelah shalat berjamaah selesai, Said ambruk karena luka yang dideritanya. Pada detik-detik terakhir kehidupannya, Said mengatakan, "Ya Allah, kutuklah kelompok pengkhianat janji ini seperti Engkau melaknat kaum 'Ad dan Tsamud. Ya Allah sampaikanlah salamku kepada Nabi-Mu." Sambil menatap Imam Husein, ia berujar, "Husein tuanku, apakah aku telah memenuhi janji setiaku?" Imam menjawab, "Ya, bergembiralah, karena surga telah menantimu. Tak lama lagi aku akan menyusulmu. Sampaikan salamku kepada kakeku Rasulullah."
Setelah itu, Imam Husein mengalihkan pandangan ke arah para sahabatnya dan berkata, "Sahabat-sahabatku, pintu surga telah terbuka menantikan kedatangan kalian. Sungai-sungai surga dan buah-buahnya tak sabar menunggu kalian. Nabi dan para syuhada berbaris untuk menyambut kalian. Karenanya, teruskan pengorbanan kalian demi keluarga Nabi. Semoga Allah mengampuni kalian semua."
Kata-kata Imam Husein AS belum selesai ketika Yazid bin Mi’qal tiba-tiba berseru, “Hei Burair, bagaimana takdir Tuhan menurutmu?” Burair menjawab, “Demi Allah aku hanya menyaksikan kebaikan dalam takdir dan kehendak Tuhan. Dialah yang membimbingku ke jalan kebaikan. Sedangkan takdir telah membawamu menjadi budak kejahatan.”
“Bohong,” sergah Ibnu Mi’qal. “Hei Burair, ingatkah engkau waktu kita bersama-sama di kabilah bani Hawazin, saat itu engkau mengatakan bahwa pemimpin kelompok yang mendapat hidayah adalah Ali bin Abi Thalib?”
“Iya,” jawab Burair. “Sampai kinipun aku masih mengatakannya. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk dalam golongan mereka yang sesat. Kini aku tantang engkau untuk bermubahalah dan meminta Allah untuk menurunkan laknat-Nya atas orang yang berdusta di antara kita berdua.”
Keduanya lantas mengangkat tangan dan meminta kepada Allah untuk melaknat dan membinasakan orang yang berdusta di antara mereka berdua. Adegan itu dilanjutkan dengan duel. Tidak berapa lama, pedang Burair menancap di kepala Yazid. Yazid terkapar di tanah bermandikan darah. Mendadak Radhi bin Munqiz Al-Abdi datang menyerang. Burair menerkam dan membantingnya ke tanah, lalu duduk di atas tubuhnya. Ka’ab bin Jabir bin Amr Al-Azdi maju untuk segera menghabisi Burair. Afif bin Zuhair bin Akhnas menegurnya, “Celaka engkau yang berniat membunuh Burair bin Khudhair, qari terkemuka di Kufah. Biarkan dia.” Ka’ab tidak memperdulikan teguran itu dan tetap melangkah maju. Sekejap kemudian, pedang Kaab terayun ke punggung Burair. Burair, sahabat setia Imam Husein itu, tersungkur mencium tanah dengan tubuh berlumur darah. Burair gugur sebagai syahid.
Pembunuhan Burair oleh Kaab membangkitkan reaksi keras. Kepada Ka’ab, istrinya berkata, “Celaka engkau hei Ka’ab. Engkau telah menghunus pedang terhadap cucu Rasulullah dan membunuh pemuka para qari Kufah, Burair bin Khudhair. Demi Allah aku tidak akan berbicara lagi denganmu selamanya. Betapa besar dosa yang telah engkau lakukan!”
Handhalah bin As’ad Asy-Syabami maju. Dengan suara lantang dia berseru, “Hei penduduk Kufah, Aku sungguh mengkhawatirkan terulangnya peristiwa Ahzab dan perbuatan umat Nuh, kaum Ad dan kaum Tsamud karena perbuatan kalian. Aku mengkhawatirkan hari di mana kalian saling menyalahkan, sedang Allah tidak akan mengampuni kalian lagi. Barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang bisa memberinya petunjuk. Tinggalkan Husein dan jangan kotori tangan kalian dengan darahnya. Jika tidak, Allah pasti akan menghukum kalian dengan azab-Nya yang pedih.” Imam Husein yang mendengar kata-kata itu mendoakan Handhalah, “Semoga Allah merahmatimu. Mereka telah terjerumus ke dalam jurang dan akan merasakan azab Tuhan.” Putra As’ad Asy-Syabami itu mengiyakan dan berkata, “Benar.” Handhalah lalu bangkit dan maju ke medan tempur untuk bertarung sampai akhirnya ia meneguk cawan syahadah.
‘Abis bin Abi Syaib (شَيْب) Asy-Syakiri bertanya kepada Syaudzab, salah seorang sahabatnya yang dikenal sebagai pengikut setia Ahlul Bait dan muhaddis besar. “Apa yang akan kau lakukan, wahai Syaudzab?” “Berperang membela cucu Rasul sampai aku terbunuh,” jawab Syaudzab. ‘Abis menanggapi kata-kata sahabatnya itu dan berkata, “Aku juga berpikir sama. Kalau begitu mari kita menghadap Imam dan meminta izin beliau untuk maju ke medan tempur.” Syaudzab menghadap Imam Husein AS dan meminta izin untuk bertempur melawan musuh. Imam mengizinkan. Syaudzab maju dan bertempur dengan gigih sampai akhirnya dia meneguk cawan syahadah. Tak berapa lama ‘Abis keluar dari barisan dan menyerbu pasukan musuh. Kelincahannya memainkan pedang dan menjungkalkan lawan serta keberaniannya membuat pasukan musuh berdecak kagum. Pertempuran ‘Abis disebut-sebut sebagai salah satu contoh kepahlawanan para jawara pejuang kebenaran. Sudah menjadi tradisi bagi para sahabat Imam Husein untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Imam sebelum pergi ke medan tempur, lalu berpamitan kepada beliau sambil mengungkapkan kata-kata kesetiaan. ‘Abis melakukan hal yang sama. Kepada junjungannya itu, dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, ketahuilah bahwa di muka bumi ini tak ada seorangpun yang mulia dan lebih kucintai dari dirimu. Andai saja aku bisa menyelamatkanmu dari pembantaian ini meski dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa ini, aku pasti akan melakukannya tanpa ragu. Saksikanlah bahwa aku mati dengan membawa keyakinan akan agamamu dan agama ayahmu.” Setelah menyampaikan kata-kata itu, ‘Abis berpamitan dengan Imam Husein dan maju ke medan perang.
Rabi’ bin Tamim berkata: Saat pandanganku jatuh pada diri ‘Abis, aku segera mengenalinya. Aku telah berkali-kali menyaksikan kepahlawanannya di berbagai pertempuran. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pemberani dari ‘Abis. Karenanya aku segera berseru “Hei! inilah si raja singa, ‘Abis bin Abi Syaib Asy-Syakiri. Siapa yang berani menghadang jalannya pasti akan terjungkal bersimbah darah.” Bagai singa kelaparan ‘Abis berputar-putar di medan tempur menantang para jawara di barisan pasukan Kufah untuk berduel satu lawan satu. Tak ada seorangpun yang berani maju menghadapinya. Melihat gelagat itu, Umar bin Sa’ad sebagai komandan tertinggi pasukan Ubaidlillah bin Ziyad segera mengerahkan pasukannya untuk mengepung ‘Abis dan menghujaninya dengan lemparan batu. Menyaksikan kelicikan itu, nyali ‘Abis bukan menjadi redup, malah semakin berkobar. Dia menantang musuh dengan melepas baju dan topi besinya sambil bersenandung: “Inilah saatnya kutanggalkan pakaian untuk merasakan maut dengan seluruh tubuh ini.”
‘Abis maju menyerang dan menari-narikan pedangnya dengan gigih. Rabi bin Tamim mengatakan, “Demi Allah saat ‘Abis maju menyeruak ke barisan pasukan Ibnu Sa’ad, sekitar dua ratus orang yang berada di hadapannya lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Akhirnya mereka mengambil jalan mengepung sahabat Imam Husein itu dari empat arah. Puluhan luka yang diderita ‘Abis akibat lemparan batu, sabetan pedang dan tusukan tombak membuatnya roboh. Tak lama kemudian aku menyaksikan kepala ‘Abis dibawa beramai-ramai oleh sekelompok prajurit Kufah. Masing-masing mengaku bahwa dialah yang telah berhasil merobohkan ‘Abis.
Jaun (جَوْن), bekas budak Abu Dzar Al-Ghiffari mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk mempersembahkan jiwanya dalam membela beliau. Kepadanya Imam berkata, “Wahai Jaun, engkau berada di sisi kami untuk mendapatkan perlindungan dan hidup terjamin. Sekarang aku persilahkan engkau untuk meninggalkan tempat pembantaian ini.” Jaun menangis dan bersimpuh di kaki Imam Husein. Kepada beliau, bekas budak itu mengatakan, “Aku selama ini hidup senang bersama Anda. Bagaimana aku harus meninggalkan Anda di saat Anda menghadapi kesulitan seperti ini? Tuanku, aku adalah seorang budak yang tak jelas asal usulnya sedangkan kulitku berwarna hitam. Karena itu, izinkan aku untuk masuk surga sehingga badanku ini menjadi harum dan kulitku memutih. Demi Allah aku bersumpah tidak akan pernah meninggalkanmu sampai darahku yang hitam ini bercampur dengan darahmu yang suci.” Imam Husein terharu mendengar kata-kata Jaun dan mengizinkannya untuk maju ke medan laga.
Dengan gagah berai Jaun maju. Dia berhasil membuat beberapa orang prajurit Umar bin Sa’ad menggelepar-gelepar di tanah menunggu kedatangan malaikat maut. Namun dia juga harus berpisah dengan junjungannya setelah meneguk cawan syahadah yang dihidangkan kepadanya. Imam Husein datang dan memangku jenazah Jaun sambil berdoa, “Ya Allah, putihkanlah kulit wajahnya dan berilah dia tempat bersama Nabi-Mu Muhammad dan keluarganya.”
Tak lama setelah itu, Ars bin Harits Al-Kahili, seorang sahabat Nabi yang telah berusia lanjut dan pernah ikut perang Badr dan Shiffin, datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk maju ke medan tempur. Dengan mengikat serbannya di pinggang ia maju menari-narikan pedangnya. Sekitar enam puluh tubuh prajurit Umar bin Saad berhasil dirobohkannya, sebelum akhirnya dia sendiri gugur sebagai syahid.. Pertarungan sahabat ini disaksikan oleh Imam Husein yang tak henti-hentinya berdoa, “Semoga Allah membalas budi baikmu wahai orang tua.”
Kini tiba giliran Amr bin Junadah Al-Anshari untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Rasulullah dan keluarganya. Dia adalah putra Junadah bin Kaab Al-Anshari, sahabat Imam Husein yang gugur bersama sejumlah orang lainnya di pagi hari Asyura’ dalam serangan pertama yang dilancarkan oleh pasukan Ibnu Ziyad. Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Ibu Amr bin Junadah kepada putranya yang saat itu masih berusia 11 tahun. “Anakku, bangkit dan berperanglah untuk membela cucu Rasulullah ini.” Remaja belia itupun maju ke medan laga. Imam Husein yang menyaksikan kesiapan Amr untuk bertarung berkata, “Ayah anak ini sudah gugur. Mungkin ibunya akan sangat terpukul jika anak itu maju ke medan tempur dan terbunuh. Suruh dia kembali ke kemah.” Amr bin Junadah menjawab, “Ibukulah yang memerintahkan aku untuk bertempur bahkan dia sendiri yang memakaikan pakaian perang ini di badanku. Kini izinkanlah aku untuk mempersembahkan pengorbanan demimu, wahai putra Rasul.” Amr maju bagai seorang Kesatria. Sambil menari-narikan pedangnya, dia bersenandung:
Tuanku adalah Husein, sungguh dialah sebaik-baik pemimpin
Husein buah hati Rasul, dialah putra Ali dan Fathimah
Adakah seorang pemimpin yang seperti dia?
Dengan wajah bagai mentari dan dahi bagai purnama?
Tak lama, Amr roboh bersimbah darah setelah menunjukkan kesetiaannya kepada putra Fathimah AS. Pasukan Kufah yang kesetanan memenggal kepala pemuda belia itu dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein. Ibu Amr bin Junadah maju memungut dan mendekap kepala anaknya seraya mengatakan, “Selamat untukmu wahai buah hatiku.” Tanpa diduga, sang ibu melemparkan kepala itu ke arah musuh dan berkata, “Apa yang telah kupersembahkan di jalan Allah, tidak akan kuambil kembali.” Wanita itupun maju ke medan tempur dengan bersenjatakan sebatang kayu sambil berkata, “Memang aku wanita tua yang lemah. Kekuatan dan kepintaranku telah lenyap sedang tubuhku juga semakin layu. Aku bersumpah untuk memukul kalian sekuat tenaga demi membela anak-anak Fathimah.” Imam Husein mengembalikan Ibu Amr bin Junadah ke kemah. Sebab beliau tidak mengizinkan seorang wanitapun terjun ke medan tempur.
Hajjaj bin Masruq Al-Ju’fi maju memperlagakan kepiawaiannya memainkan pedang demi membela Imam. Beberapa saat setelah itu, ketika sekujur tubuhnya telah bersimbah darah, dia mendatangi Imam Husein dan mengatakan, “Hari ini aku akan segera bertemu dengan ayahmu Ali yang aku yakini sebagai washi dan penerus risalah Nabi.” Imam Husein menjawab, “Ya, aku juga akan segera menyusul.” Hajjaj kembali ke medan tempur sampai syahadah datang membawanya ke surga.
Setelah Hajjaj, Sawid bin Amr bin Abi Mutha’ maju. Tak berapa lama ia terjungkal dari punggung kuda. Pasukan Kufah yang mengiranya telah gugur, meninggalkan Sawid. Setelah Imam Husein syahid, Sawid dengan menahan luka yang dideritanya bangkit mengambil pisaunya dan bertempur melawan pasukan Kufah sampai akhirnya iapun meneguk cawan syahadah. Sawid adalah orang terakhir dari pasukan Imam Husein yang menjadi korban kebiadaban pasukan Ibnu Sa’ad.
Kini tak ada seorangpun sahabat Imam Husein yang tersisa. Hanya keluarga beliaulah yang kini tengah menantikan detik-detik perpisahan dengan dunia yang fana ini. Mereka bertekad untuk menyongsong kematian demi membela agama Rasulullah SAW. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan. Orang pertama dari Bani Hasyim yang maju ke medan laga adalah Ali Akbar putra Imam Husein yang disebut-sebut sebagai orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu para wanita keluarga Rasul berkumpul dan mendatangi Ali Akbar seraya mengatakan, “Wahai putra Husein, kasihanilah keterasingan kami yang tak kuasa berpisah darimu.” Ali Akbar meminta izin untuk maju bertempur. Dengan langkah yang mantap, pemuda tampan itu bergerak sambil membawakan bait-bait syair kepahlawanan:
Akulah Ali Putra Husein bin Ali
Kamilah keluarga terdekat Nabi
Kan kupukul kalian dengan pedang ini
Demi membela Husein cucu Nabi
Aku bertempur dengan gagah berani
Tak kan kuizinkan mereka memerintah kami
Kepergian Ali Akbar ke medan laga diiringi oleh pandangan sayu sang ayah. Dengan air mata yang membasahi pipi, Imam Husein mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah saksikanlah, bahwa pemuda yang paling mirip dengan rasul-Mu Muhammad maju ke medan tempur. Selama ini jika kami rindu kepada Nabi kami selalu melampiaskannya dengan menatap wajahnya.”
Saat itulah terdengar suara Imam Husein AS berseru, “Hei Ibnu Sa’ad, semoga Allah memutus tali keturunanmu yang tidak mengindahkan kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah swt telah memuliakan Adam, Nuh, Ibrahim, dan keluarga Imran atas semua makhluk-Nya, dan kami adalah keturunan orang-orang suci itu.”
Di medan perang, Ali Akbar bertempur dengan gagah berani memperlihatkan kepahlawanan keluarga Bani Hasyim. Tujuh puluh orang tersungkur setelah terkena sabetan pedangnya. Rasa dahaga yang sejak tadi mencekik lehernya mendorongnya untuk kembali ke kemah menemui sang ayah. Ali Akbar mengeluhkan rasa haus yang melemahkan badannya. Kepada putranya itu Imam Husein mengatakan, “Anakku, tak lama lagi engkau akan segera bertemu dengan kakekmu Rasulullah yang akan memberimu air dari telaga surga dan engkau tak akan merasakan dahaga lagi selamanya.”
Ali Akbar kembali ke medan tempur. Sekonyong-konyong sebuah anak panah menancap di lehernya. Dari belakang, Barrah bin Munqidz Al-Abdi mengayunkan pedangnya ke kepala putra Al-Husein itu. Ali Akbar jatuh bersimbah darah. Pasukan musuh yang menyaksikan peristiwa itu serta merta menyerang dan mencabik-cabik tubuh cicit Rasulullah tersebut. Setelah itu, Imam Husein mendatangi jenazah sang anak dan memangkunya. Beliau berkata, “Semoga Allah menumpas mereka yang telah membunuhmu. Sungguh, betapa kejinya mereka yang menginjak-injak kehormatan Rasul dan membantai para kekasih Allah. Anakku, setelah kepergianmu, dunia ini tak lagi berarti.” Imam lantas meraup darah anaknya dan melemparkannya ke atas. Tak ada setetespun dari darah itu yang jatuh ke tanah. Kemudian beliau memerintahkan agar jasad Ali Akbar diletakkan di depan kemah. Para wanita keluarga Nabi SAW duduk mengelilingi jenazah suci cucu Nabi itu dan berlomba menguras air mata. Jerit tangis dan teriakan histeris itu semakin bertambah saat mata mereka tertuju pada tubuh Ali Akbar yang dicincang dengan luka sayatan dan tusukan yang tak terhitung. Zainab, adik kandung Imam Husein, tak mampu menahan diri. Dia ambruk memeluk tubuh keponakan yang sangat disayanginya itu dan menciuminya.
Abdullah bin Muslim bin Aqil datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk bertarung. Sambil menarikan pedangnya Abdullah bersenandung:
Aku bergegas untuk menjumpai ayahku, Muslim
Aku kan bertemu dengan para pengorban jiwa demi agama
Abdullah bin Muslim bin Aqil tiga kali melakukan serangan ke barisan musuh. Beberapa nyawa melayang ditebas oleh ketajaman pedangnya. Mendadak Amr bin Shabih Ash-Shada’i (الصَّـدَاعي) membidikkan anak panah ke arah Abdullah untuk menghentikan petualangan heroiknya. Anak panah itu tepat menancap di dahi putra Muslim bin Aqil. Abdullah mencabut anak panah itu sambil berujar, “Mereka adalah kaum pengkhianat. Habisi dan bantai mereka, sebab mereka datang untuk membantai kita.”
Tiba-tiba seseorang menyuak dan menancapkan sebuah anak panah di dada Abdullah. Abdullah roboh dan menyongsong syahadah dengan senyuman. Keluarga besar Abu Thalib yang menyaksikan gugurnya Abdullah secara serentak maju menyerang. Gerakan mereka diikuti oleh seruan Imam Husein, “Wahai saudara-saudara sepupuku, songsonglah kematian dengan tabah. Demi Allah, tidak ada lagi kehidupan dunia setelah ini.”
‘Aun (عَوْن) bin Abdullah bin Ja’far Thayyar yang juga putra Zainab binti Ali, gugur, lalu saudaranya Muhammad, disusul kemudian oleh Abdurrahman dan Ja’far putra Aqil, setelah itu Muhammad bin Muslim bin Aqil. Tak jauh dari tempat mereka meneguk cawan syahadah, Hasan Al-Mutsanna, putra Imam Hasan, tergeletak di padang tandus Karbala dalam kondisi luka parah dan tangan kanan yang terputus. Giliran Muhammad bin Abi Bakr bin Amirul Mu’minin Ali maju ke medan perang. Langkah pemuda suci itu terhenti akibat tebasan pedang Ibnu Nakha’i. Abdullah bin Aqil terjebak di tengah-tengah pasukan Ibnu Ziyad. Sejumlah orang berhasil dilumpuhkannya. Namun luka parah yang diderita Abdullah memperlemah langkahnya. Utsman bin Khalid At-Tamimi datang dan menghabisi nyawa saudara sepupu Imam Husein itu. Giliran Abdullah Akbar putra Imam Hasan Mujtaba maju ke medan perang. Sebelum gugur dia berhasil membuat sejumlah orang tersungkur oleh tebasan pedangnya.
Seorang pemuda belia bernama Qasim bin Imam Hasan maju meminta izin untuk bertempur. Imam mengizinkan dan mendekap keponakannya. Beliau teringat akan saudara kandungnya, Imam Hasan Mujtaba. Kepergian Qasim diikuti dengan tangisan Imam Husein AS. Qasim yang berwajah tampan bagai bulan purnama itu dengan tangkas memainkan pedangnya membuat beberapa orang terkapar di tanah. Namun tiba-tiba kegesitan Qasim mengendur setelah Amr bin Saad bin Nufail Al-Azdi memukulkan pedangnya di kepala Qasim. Remaja belia itu menjerit histeris, “Paman! Tolong aku.”
Imam dengan secepat kilat menerjang ke arah Amr, pembunuh Qasim bin Hasan. Amr berlari tunggang langgang. Pasukan Kufah yang hendak menyelamatkan Amr mundur menyaksikan singa bani Hasyim itu mengamuk. Amr bin Saad bin Nufail yang dengan sadis membantai Qasim putra Imam Hasan, kini menggelepar-gelepar di padang Karbala menunggu kedatangan malaikat maut yang akan mengantarnya ke neraka. Dia tewas di tangan Imam Husein, putra Ali bin Abi Thalib. Imam memangku jasad keponakannya itu dan membelainya sambil mengatakan, “Celakalah mereka yang membunuhmu. Kakekmu Rasulullah, tidak akan memaafkan mereka.” Imam menggendong Qasim menuju perkemahan dan meletakkannya di sisi jasad Ali Akbar.
Abul Fadhl Abbas yang menyaksikan gugurnya bunga-bunga rumah kenabian, memandang ke arah saudara-saudaranya dan berkata, “Adik-adikku, bersiap-siaplah untuk menyerang pasukan kafir itu demi memperoleh keridhaan Allah.” Abdullah, Utsman dan Ja’far, ketiganya adalah adik kandung Abul Fadhl maju ke medan perang. Tak berapa lama merekapun bergabung dengan kafilah para syuhada. Setelah ketiga adiknya gugur, Abul Fadhl memandang ke sekelilingnya. Tak ada lagi seorangpun selain dirinya dan Imam Husien yang tersisa. Jawara yang bernama Abbas ini datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk menyerang pasukan lawan. Imam mencegah dan mengatakan, “Abbas, engkau adalah pemegang panji pasukan ini.” Abul Fadhl menjawab, “Benar, tapi demi Allah, dadaku terasa sesak sekali. Izinkan aku untuk menuntut darah para syuhada.” Kepada Abul Fadhl, Imam berkata lagi, “Adikku, pergilah dan usahakan untuk mendapatkan sedikit air untuk anak-anak yang kehausan.”
Abul Fadhl dengan secepat kilat memacu kudanya ke arah pasukan musuh. Abbas mengingatkan mereka akan kemurkaan Allah dan meminta agar mereka mengijinkannya mengambil air untuk anak-anak kecil di perkemahan Imam Husein yang dicekik rasa dahaga. Kata-kata itu tidak digubris oleh pasukan Kufah yang telah dikuasai setan. Abul Fadhl kembali kepada Imam Husein. Namun hati jawara itu tercabik-cabik kala mendengar jeritan anak-anak yang kehausan. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengambil qirbah, kantong air dan memacu kudanya ke arah sungai Furat. Empat ribu prajurit Kufah menghadang dengan pedang terhunus dan tombak yang diarahkan kepadanya. Abul Fadhl terus melaju dengan cepat. Sesampainya di tepi sungai dia segera mengambil air di tangannya. Sebelum sempat air itu menyentuh bibirnya, ia teringat akan abang sekaligus junjungannya, Imam Husein AS yang sedang kehausan. Abbas mengurungkan niatnya dan melemparkan kembali air itu ke sungai.
Abul Fadhl yang sudah selesai memenuhi qirbahnya dengan air sungai Furat, segera naik kembali ke punggung kuda dan memacunya ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan, Abbas dihadang oleh pasukan Kufah. Tak ada pilihan lain selain mencabut pedang dan mengusir mereka dari hadapannya. Bentrokan antara jawara bani Hasyim dengan pasukan Kufah terjadi. Banyak yang tersungkur di tanah bersimbah darah. Sambil mempertontonkan aksi heroiknya, Abul Fadhl Abbas bersenandung:
Aku tak berpaling dari kematian kala datang menjemputku
Tugas memberi air minum keluarga Nabi ada di pundakku
Aku tak takut, meski hadapi maut untuk tugas itu
Zaid bin Warqa’ Al-Juhani yang bersembunyi tiba-tiba muncul membantu Hakim bin Thufail menebas tangan kanan Abul Fadhl. Abbas yang kehilangan tangan kanan mengambil pedang dengan tangan kirinya sambil berkata, “Meski aku kehilangan tangan kanan, namun aku tetap akan membela agama dan junjunganku, Al-Husein putra Rasul.” Hakim bin Thufail kembali menyerang. Kali ini tangan kiri Abul Fadhl Abbaslah yang diincarnya. Tak lama kemudian tangan itupun terlepas dari tubuh suci Abbas. Kehilangan dua tangannya, Abul Fadhl mendekap panji pasukan Imam Husein di dadanya. Gerakan jawara putra Ali itu mengendur. Dia dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Ibnu Sa’ad. Beberapa anak panah menghujani pemegang panji Imam Husein itu dan menancap di dada, punggug, wajah, bahkan matanya. Dalam keadaan seperti itu mendadak seorang prajurit Kufah memukulkan besi di kepala Abbas. Abbas tersungkur ke tanah dan berteriak histeris, “Oh Husein abangku.”
Mendengar jerit suara Abul Fadhl, Imam Husein segera memaju kudanya dan secepat kilat melesat ke arah saudaranya. Bagai singa kelaparan Imam Husein membabat setiap orang yang menghadangnya. Pasukan Kufah kocar-kacir. Tak berapa lama, beliau telah tiba di sisi Abul Fadhl. Dengan lembut Imam meletakkan kepala adiknya itu di pangkuannya. Menyaksikan keadaan Abbas, Imam mendesah dan mengatakan, “Patah sudah tulang punggungku.” Imam Husein bangkit dan dengan sengit menghajar para prajurit Kufah. Pasukan itu dibuatnya kewalahan. Masing-masing berpikir untuk menyelamatkan diri dari tebasan pedang putra Fathimah itu. Menyaksikan musuh yang lari menjauh, Imam Husein berseru, “Di maka kalian yang telah membunuh adikku? Ke mana kalian yang telah meluluhkan lengan kananku?” Sejenak kemudian Imam Husein kembali memangku jasad adiknya, Abul Fadhl Abbas yang tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir setelah mempersembahkan pengorbanan besar untuk agama dan imamnya. Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.
Imam Abu Abdillah Al-Husein AS kembali ke kemah. Peristiwa yang baru disaksikannya sedemikian pahit hingga seakan-akan melumpuhkan pundaknya. Imam menyeka air mata yang membasahi wajahnya, Sukainah, putri kesayangannya datang menghampiri beliau dan menanyakan perihal pamannya, Abbas. Imam Husein menceritakan apa yang dialami Abbas di medan perang. Zainab yang mendengar untuk sejenak membisu, tak mampu mengurai kata-kata. Namun tak lama kemudian dia menjerit histeris, “Oh Abbas, adikku.”
Imam menatap sekelilingnya. Hanya tubuh-tubuh para sahabatnya yang bersimbah darah yang tampak. Suara jerit tangis para wanita dan anak-anak di kemah menambah pedih perasaannya. Imam bangkit dan berseru, “Adakah orang yang bersedia membela keluarga Nabi?” Kata-kata beliau membuat jerit tangis mereka yang di kemah semakin menjadi-jadi. Imam Sajjad, putra Imam Husein yang saat itu sedang sakit berusaha berdiri dengan topangan tongkat lalu mengambil pedangnya. Pemuda cucu Nabi itu siap untuk maju ke medan perang. Imam Husein yang melihatnya, segera memerintahkan Ummu Kultsum untuk mencegahnya dan berpesan, jangan sampai dunia kosong dari putra Nabi.
Imam lantas menyuruh semua anggota rombongannya yang terdiri dari para wanita keluarga Nabi itu untuk diam. Beliau ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Imam Husein lantas mengambil pedang dan perisai Nabi. Tak berapa lama beliau meminta Abdullah anaknya yang masih berusia enam bulan untuk memberinya ciuman terakhir. Zainab menyerahkannya kepada beliau. Sebuah ciuman suci mendarat di pipi Abdullah. Imam Husein lantas mengangkat anaknya itu dan meminta pasukan Ibnu Sa’ad untuk memberinya minum. Pasukan Kufah yang kesetanan tak menggubris seruan itu. Bahkan Harmalah yang berhati batu membidikkan sebuah anak panah ke arah bayi tersebut. Anak panah mendarat tepat di leher Abdullah. Darah segar membasahi tangan Imam Husein. Imam memenuhi tangannya dengan darah Abdullah lalu melepmparkannya ke langit. Tak ada setetespun yang tercecer di tanah. Beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kemudahan menanggung segala penderitaan ini. Ya Allah, semoga derita ini tidak memudahkan terpisahnya nyawa dari tubuh ini. Tuhanku, aku tahu bahwa Engkau telah memberikan kemenangan kepada kami dan Engkaulah yang akan menuntut balas dari mereka akan perbuatan ini. Engkau pulalah yang menjadikan musibah yang mereka timpakan kepadaku sebagai simpanan untuk hari akhirat. Ya Allah Engkau telah menyksikan sendiri bahwa mereka telah membunuh orang yang paling mirip dengan Rasul-Mu.”
Tiba-tiba Imam Husein mendengar suara yang memintanya untuk mengembalikan Abdullah ke dalam kemah. “Husein, kembalikan anak itu, sebab dia telah ditunggu oleh perawatnya di surga.” Imam memberikan sang anak kepada adiknya, Zainab. Beliau tahu bahwa ibu Abdullah tidak akan kuasa menyaksikan keadaan anaknya yang dengan leher menganga dibelah anak panah Harmalah. Zainab menerima anak itu sambil mengatakan, “Abangku, tutupilah anak ini. Aku tak kuasa menyaksikan keadaannya.”
Imam Husein menggali sebuah kubur kecil dan memakamkan Abdullah tanpa mencabut anak panah yang menancap di lehernya. Beliau tahu benar bahwa setelah kesyahidannya, pasukan berkuda musuh akan menginjak-injak tubuhnya dan tubuh para sahabatnya.
Tak lama kemudian, Imam Husein maju ke medan tempur. Pasukan Kufah dibuatnya kocar-kacir. Ya, Husein tak lain adalah jelmaan Muhammad, Rasululah dan Ali. Dialah yang mewarisi darah Fathimah, Hasan, Hamzah, Ja’far Thayyar, Isa, Musa, Ibrahim, Ismail dan seluruh Nabi pilihan Tuhan. Dialah korban persembahan agung yang dimaksud Al-Qur’an dalam janji Allah kepada Ibrahim. Husein adalah darah Tuhan. Putra Ali itu menyerang kamp pasukan Ibnu Saad dan bersenandung:
Akulah Husein putra Ali
Untuk tunduk, aku tak kan sudi
Kubela keluarga ayahku sampai mati
aku memegang teguh agama Nabi
Abdullah bin Ammar bin Abi Yaghuts mengatakan: Demi Allah aku tidak pernah melihat seorang seperti Husein yang meski ditimpa berbagai musibah dan menyaksikan sendiri kematian anak-anaknya, para sahabat dan sanak keluarganya, namun tetap tegar dan berperang bagai singa kelaparan hingga membuat pasukan lawannya tercerai-berai. Tak ada seorangpun yang bisa dan berani menghadangnya. Ketangkasan dan kepahlawanan Imam Husein tidak mengherankan bagi sebagian orang termasuk Umar bin Saad yang berseru, “Ingat, Husein adalah putra Ali yang akan menjungkalkan semua jawara Arab. Karena itu kepung dia dari segala penjuru!” menyusul perintah Ibnu Sa’ad, sebanyak empat buah tombak dilemparkan ke arah Imam Husein dari empat arah. Imam Husein praktis terpisah dari perkemahannya. Sekelompok orang dari pasukan Kufah datang beramai-ramai ke perkemahan keluarga suci Nabi.
Tindakan mereka membangkitkan amarah Imam Husein yang lantas menghardik mereka, “Hei para budak Abu Sufyan, jika kalian tidak beragama dan tidak percaya akan hari akhirat, jadilah orang yang bebas dan merdeka.” Syimr menyergah, “Apa yang kau inginkan hei anak Fathimah?”
Imam menjawab, “Akulah yang berperang dengan kalian, bukan wanita-wanita itu. Selama aku masih hidup jangan sekali-kali kalian mendekati mereka.”
Syimr mengiyakan dan mengabulkan permintaan Imam Husein.
Seluruh pasukan Kufah memusatkan perhatian mereka kepada Imam Husein. Perang tak seimbang itu semakin sengit. Rasa haus dan dahaga semakin mencekik tenggorokan cucu Nabi itu. Dengan terus menari-narikan pedangnya, Imam Husein AS berjalan menuju sungai Furat. Setelah berhasil menghalau Amr bin Hajaj dan pasukannya yang berjumlah empat ribu orang, beliau sampai di tepi sungai Furat. Tanpa membuang waktu beliau mengambil air dan siap meminumnya. Namun sayup-sayup terdengar suara seseorang yang menegur beliau dengan mengatakan, “Mengapa engkau ingin membasahi kerongkongan dengan air itu sedangkan perkemahan keluargamu diserang oleh pasukan musuh?” Imam Husein mengurungkan niatnya dan secepat kilat memacu kudanya ke arah perkemahan. Dengan gesir beliau menghalau para durjana dari perkemahannya. Kembali Imam Husein AS menjumpai keluarganya dan berpesan, “Siapkanlah diri kalian untuk menghadapi banyak musibah besar setelah ini. Wahai keluarga kenabian, Allah adalah sebaik-baik penolong kalian. Dialah yang akan menjaga kalian dari gangguan mereka. Allah telah menentukan akhir yang baik bagi kalian dan akan mengazab musuh-musuh itu dengan siksaan yang amat pedih. Ingatlah bahwa setiap musibah yang kalian alami akan diganti dengan kenikmatan-kenikmatan yang tak terkira. Karena itu, jangan kalian lemahkan diri kalian dengan jerit tangis.” Setelah mengucapkan kata-kata itu Imam Husein berpamitan dengan mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gelegak Umar bin Sa’ad yang menghardik pasukannya sendiri. “Hei! serang dan habisi dia. Jika tidak, dia pasti akan mengobrak-abrik barisan kalian.”
Pasukan Kufah segera mengarahkan panah dan tombak mereka ke arah Imam Husein. Beberapa anak panah dan tombak mengenai tubuh beliau. Terdengar suara Imam, La haula wa la quwwata illa billahi al-aliyyil adzhim, “ Tiada daya dan upaya menlainkan dari Allah yang Maha Tinggi lagi maha Agung.
Sebuah suara ejekan terdengar dari balik barisan Umar bin Sa’ad. “Hei Husein, lihatlah sungai yang tampak segar itu. Tapi sayangnya, engkau tidak akan pernah merasakan air Furat sampai mati kehausan.” Imam Husein hanya memanjatkan doa menjawab kelancangan itu, “Ya Allah, binasakanlah dia dengan rasa haus yang mencekik.”
Doa Imam Husein terkabul. Orang itu terkena rasa dahaga yang mencekik namun tak kunjung reda meski telah meminum banyak air. Akhirnya dia tewas mengenaskan dengan perut yang kekenyangan air tanpa mampu mengusir rasa hausnya.
Abul Hunuq Al-Ju’fi membidikkan panahnya ke arah Imam Husein AS. Anak panah itu menancap tepat di dahi beliau. Imam menariknya dari dahi suci itu. Tak ayal, darah segar langsung mengalir dengan derasnya dan membasahi wajah beliau. Beliau mengatakan, “Ya Allah, saksikanlah apa yang dilakukan kaum ini terhadapku. Ya Allah binasakanlah mereka. Jangan Engkau biarkan seorangpun dari mereka hidup di bumi ini. Tuhanku jangan Engkau ampuni kesalahan mereka.”
Kepada para durjana itu, Imam Husein berseru, “Hei kalian semua, betapa buruknya perlakukan kalian terhadap keluarga Nabi kalian sendiri. Demi Allah, aku selalu mengharapkan kemuliaan syahadah. Allah-lah yang kelak akan menuntut balas darahku dengan cara yang tidak kalian duga sama sekali.”
Hushain bin Umair menyela, “Hei Husein, bagaimana Tuhan akan menuntut balas darahmu dari kami?” Imam menjawab, “Allah akan menghukum kalian dengan kejahatan di antara kalian sendiri. Saat itulah, Dia akan menurunkan azab-Nya atas kalian.”
Sejenak Imam Husein menghentikan pertempuran untuk sedikit beristirahat. Tanpa diduga, seorang durjana melemparkan batu besar ke arah beliau dan mengenai wajahnya. Kembali darah segar mengucur dari wajah Imam Husein AS. Beliau segera menarik ujung baju dan membalut lukanya dengan kain itu. Namun di saat yang sama seorang pendurhaka membidikkan anak panah bermata tiga ke arah Imam Husein dan bersarang tepat di dada beliau. Terdengar suara Imam yang mengatakan, “Bismillah wabillah wa a’la millati rasululillah.” Cucu nabi itu mengangkat tangannya dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau saksikanlah bahwa mereka telah membantai satu-satunya cucu Nabi-Mu di muka bumi ini.”
Imam Husein AS mencabut anak panah itu dari punggungnya. Darah segar mengalir deras dari luka itu. beliau mengambil darah itu di telapak tangannya dan melemparkannya ke atas seraya mengatakan, “Ya Allah, mudahkanlah kematian ini.” Imam Husein kembali meraup darahnya dan berkata, “Aku ingin segera bertemu Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan seperti ini.”
Kucuran darah itu melemahkan gerak Imam Husein yang lantas terduduk di padang gersang Karbala. Mendadak Malik bin Nashr datang. Sambil mengucapkan kata-kata penghinaan kepada putra Fathimah itu, Malik mengayunkan pedangnya ke arah Imam Husein. Pukulan itu tepat mengenai kepala Imam Husein. Darah segar kembali memancar dari kepala beliau. Hani bin Tsabit berkata, “Ketika Husein terduduk, aku menyaksikan sekelompok prajurit Kufah datang menyerang dan mengepungnya. Tiba-tiba Abdullah bin Hasan, yang masih sangat belia datang untuk membela pamannya. Saat Bahr bin Ka’ab hendak memukulkan pedangnya ke arah Husein Abdullah berseru, ‘Hei anak wanita jalang, Apa yang hendak kau perbuat terhadap pamanku?” Bahr berpaling dari Imam dan melayangkan pukulan pedangnya ke arah Abdullah. Bocah cucu Nabi itu menangkis pukulan Bahr dengan tangannya. Tak ayal tangan kecil itupun terbabat dan terlepas dari tubuh Abdullah. Abdullah menjerit histeris, “Paman, mereka memotong tanganku.” Imam Husein mendekap keponakannya itu dan mengiburnya, “Bersabarlah, karena sebentar lagi Allah akan mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu yang shaleh.” Tiba-tiba Harmalah bin Kahil membidikkan panahnya ke arah Abdullah. Abdullah gugur di pangkuan pamannya, Al-Husein AS.
Imam Husein berada di tengah-tenah arena pembantaian. Tapi tak ada seorangpun yang berani membunuhnya. Masing-masing menolak untuk tampil di lembar sejarah sebagai pembunuh cucu Rasul. Syimr yang menyaksikan keadaan itu menyeringai, “Apa yang kalian tunggu? Cepat habisi dia.” Zar’ah bin Syuraik maju memukulkan pedangnya di pundak kiri Imam Husein. Di saat yang sama, Hushain membidikkan anak panahnya ke tenggorokan beliau, sementara seorang lagi mengayunkan pedang ke leher Al-Husein. Sinan bin Anas ambil bagian. Dengan kejamnya, dia menusuk dada putra Fathimah itu dibantu oleh Sholeh bin Wahb yang memukul pinggang beliau dengan pedangnya.
Peristiwa segera disusul oleh teriakan histeris para wanita suci keluarga Nabi. Ummu Kultsum berseru, “Ohhh, Huseinku.” Zainab yang tak mampu menahan diri menjerit histeris, “Ohhh, Husein, setelahmu, dunia ini tak berarti lagi. Ohhhh, andai saja langit ambruk ke bumi ini.” Zainab segera berlari ke arah abangnya sambil berseru, “Adakah orang muslim di antara kalian? Lihatlah apa yang mereka perbuat terhadap buah hati Rasul!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar