Reklame

Rabu, 10 November 2010

Kisah Kelam Jugun Ianfu

Momoye; Mereka Memanggilku Eka Hindra-Koichi Kimura Penerbit Esensi Erlangga Group Terbit 2007 Tebal 314 halaman

Masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan masa kelam bagi perempuan Indonesia. Masa remaja mereka direnggut secara paksa menjadi seorang Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadunya.

Saat ini masih ada sejumlah Jugun Ianfu yang masih hidup. Umumnya mereka menghadapi masalah seperti; kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis dan seksual yang mereka alami selama menjadi Jugun Ianfu karena tidak memiliki uang yang cukup memelihara kesehatannya. Rahim-rahimnya rusak. Sebagian besar dari mereka hidup miskin karena ditolak bekerja di tengah-tengah masyarakat dengan alasan “bekas ransum Jepang” dan manusia kotor.

Buku ini berisi kisah perjuangan hidup Mardiyem, salah seorang saksi sejarah yang selamat melewati nasib di kamp perkosaan Telawang, Kalimatan Selatan, yang mencari keadilan bukan demi dirinya sendiri, tetapi juga bagi dunia agar ketidakadilan serupa tidak terulang dalam peradaban manusia. Lebih dari setengah abad Ia menyimpan kisah hidupnya yang mengerikan di kamp perkosaan hingga menghantui seumur hidupnya. Mardiyem mempertaruhkan seluruh hidupnya ketika membuka masa lalunya yang pahit untuk dibagikan kepada kita (pembaca) dan generasi muda.

Mardiyem menghabiskan masa kecilnya di Yogyakarta dengan tiga orang kakak perempuan dan ayah yang dicintainya. Di saat berumur tiga belas tahun Mardiyem bercita-cita menjadi seorang penyanyi dan pemain sandiwara. Untuk mewujudkan cita-citanya itu berbagai cara telah ditempuhnya. Hingga akhirnya Ia bertemu dengan Zus Lentji yang menawarinya untuk menjadi seorang pemain sandiwara di Borneo.

Berangkatnya Maerdiyem ke Borneo menjadi awal derita berkepanjangan baginya. Sesampainya di sana, semua yang diimpikannya buyar. Tidak ada peran sandiwara yang diterimanya, malah Ia dijadikan pelayan seks pegawai sipil dan tentara militer Jepang. Siksaan fisik bertubi-tubi diterimanya. Dalam sehari Mardiyem harus melayani sepuluh hingga belasan tentara Jepang. Namanya pun diganti dengan “Momoye” dan menempati kamar bernomor 11. Bahkan suatu hari ketika Ia ketahuan hamil, dengan bengis Cikada (pengelola asrama) menggugurkan kandungannya dengan paksa. Hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kekangan.

Pada tahun 1945 bom berjatuhan di sekitar asrama. Semua penghuni kocar-kacir mencari perlindungan. Tentara Jepang menghilang entah kemana. Mardiyem menyelamatkan diri dan mengungsi dengan beberapa orang temannya ke Kapuas beberapa bulan, lalu Ia tinggal di kampung Belitung. Di sana Ia menikah dengan Amat Mingun seorang serdadu KNIL. Ia mau menerima apa adanya Mardiyem yang tidak bisa lagi jatuh cinta dengan laki-laki. Sebelum rahimnya benar-benar rusak dan dibuang, Mardiyem sempat melahirkan seorang putra.

Beberapa tahun kemudian, Mardiyem dan keluarganya kembali Ke Yogyakarta. Memulai hidup dari awal lagi. Apapun dilakoninya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pada tahun 1993 Mardiyem memulai perjuangannya dengan bantuan LBH dan berbagai pihak yang bergerak di bidang ini. Mardiyem terus berjuang menghadapi media massa dan bersuara di berbagai pertemuan nasional dan internasional mewakili teman-temannya yang masih hidup dan masih meninggal. Walaupun perhatian dari pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap para Jugun Ianfu masih sangat kecil. Ia menuntut pemerintah Jepang bertanggung jawab secara hukum yang bersifat resmi kenegaraan terhadap kebijakannya di masa lampau karena telah menyelenggarakan sistem perbudakan seksual, dan menuntut pemerintah Jepang harus memasukkan masalah Jgun Ianfu ke dalam sejarah Jepang agar diketahui oleh generasi muda.

Banyak nilai moral yang bisa kita petik setelah membaca buku ini. Selain itu, buku ini juga membetulkan pemahaman kita yang salah selama ini tentang Jugun Ianfu. Ada hal yang bisa kita garis bawahi bahwa perjuangan Jugun Ianfu bukan untuk dirinya sendiri. Perjuangannya adalah perjuangan untuk membela martabat korban dan Bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar